Adakah iya?


 

Saya tidak sedang berpikir dia sudah membacanya. Hari ini saya berusaha sebiasa hari-hari biasa. Takut bermimpi tentang saat-saat luar biasa. Saya hanya mencoba mengikuti alur realita.
Dia menghindar seperti biasa. Menjauh seperti yang saya kira. Saya membiarkannya karena tidak punya hak melarangnya. Saya juga bahagia seandainya telah terbiasa. Meski sulit, saya mesti bisa.
Tapi tiba-tiba dia beranjak menghapus jarak. Mendekat. Bahkan merapat. Saya sungkan menantang hadap. Hanya menggelagap. Saat mulutnya berucap, jantung saya hampir meloncat. Ups, saya tidak boleh terjebak!

 

Sudahkah dia membacanya? Tidakkah sama sekali? Lantas, dia berubah karena apa? Atau hanya perasaan saya saja yang mulai berubah padanya?

 

Tatapannya serupa jembatan antara rasa dan makna. Menyelinapi celah kerumun para figuran. Saya menemukannya dalam pencarian. Diam-diam. Entah dengan dirinya. Hanya saya menangkap ketergelagapannya, yang kurang lebih seperti refleksi pada diri saya.

 

Sekali lagi saya memberanikan diri berspekulasi: Jika dia masih ada di tempat yang kita masih bisa saling menyapa, maka dia sepertihalnya saya di saat sedang dalam posisinya.

 

Ya, dia masih di sana. Bahkan saya berhasil membuatnya lumayan tergelagap dengan pertanyaan yang sama dengan yang pernah terlontar darinya di saat saya sedang dalam posisinya. Impas.

 

Adakah iya? Tanda-tanda yang bias itu cukup lucu dalam frame transparan yang saya ciptakan. Meski sebenarnya saya ingin menganggapnya indah.* * *

Tinggalkan komentar