Kau/Dia? : Inkonsistensi/Sengaja?


Bangun tidur nonton Inbox, Dahsyat, Dering, lanjut Ampuh, Happy Song, Play List, Missing Lyrics sampai Mantap, membuat saya seolah-olah sudah sedarah daging dengan Pasha Ungu, Charlie ST12, Ridho Rhoma, Andhika Kangen Band, hingga Coky Sitohang. Oh may Gudnes. Beginikah nasib jadi ibu rumah tangga?

Nyalain komputer, muter winamp yang isinya lagu-lagu mereka lagi (kecuali Coky Sitohang). Teman saya sampai harus berbekal MP3 koleksinya sendiri setiap kali mampir nyalain komputer di rumah saya saking merasa haramnya mendengar lagu-lagu mereka. Oh la la cafe (boleh pake “deh”). Adakah yang salah dengan Mas-Mas yang saya sebutkan di atas?

“Kenapa sih kamu nggak suka lagu Indonesia?” tanya Ridho Rhoma dengan suara yang kata ibu saya sebening embun di pagi hari tanggalan muda awal bulan. Tapi kemudian Ridho Rhoma-nya dikutuk dan menciut jadi liliput.

“Kenapa juga kamu suka lagu Indonesia?” tanya balik teman saya pada saya. “Apa bagusnya?”

“Emang apa bagusnya lagu barat?” tanya saya menggugat pertanyaan teman saya.

Akhirnya seharian itu kami terus saling berbalas kata tanya apa, kenapa, bagaimana, siapa, berapa dan lainnya. Sampai-sampai kami kerepotan mencari jawabannya.

Yah, intinya, teman saya itu tidak suka lagu Indonesia, dan tak ada yang bisa mengubahnya. Sementara saya sendiri bisa dibilang omnivora. Apa pun jenis musiknya, siapa pun penyanyinya, dari mana pun asalnya, kalau memang enak didengar ya hayuk-hayuk aja (kayak mau ke mana). Denger lagu dangdut pun bakalan ikut joget dan nggak pura-pura benci kalo emang doyan.

Tapi memang sih, kalau harus bikin perbandingan antara lagu Indonesia dengan lagu luar, rasanya memang agak gregetan juga ya. Kenapa gregetan? Saya melihatnya dari segi lirik. Dari pemilihan katanya, menurut saya, lirik lagu Indonesia tidak seimpresif dan sefantastis lirik lagu luar jika diterjemahkan.

Dan selain itu…

Ah, ya, jadi keingetan tentang sesuatu.

Begini ceritanya. Suatu hari, pas lagi mindah-mindahin channel teve, muncullah video klip Geisha yang judulnya Tak Kan Pernah Ada. Dikuping-kuping, enak juga. Suaranya yang bindeng-bindeng dan lagunya yang easy listening (what the hell, apa pun artinya easy listening itu) bikin saya ngerasa gimanaaa gitu. Pokoknya enak deh ini lagu. Lantas saya ke warnet dan mendownload file Tak Kan Pernah Ada.MP3.

Pas pertama denger sih, enjoy-enjoy aja. Ikut nyanyi-nyanyi juga, berusaha ngimbangin suara bindengnya Momo Geisha pake suara merdunya Dadan Erlangga yang kata ibu saya mirip kaleng kerupuk jatuh di tangga pada hari hujan bergeledek ramai. Demi bisa nyanyi bareng, saya pun mencari dan menyalin lirik lagunya.

DIA, memang hanya DIA
Ku slalu memikirkannya
Tak pernah ada habisnya

Benar DIA, benar hanya DIA
Ku slalu menginginkannya
Belaian dari tangannya

Mungkin hanya DIA harta yang paling terindah
Di perjalan hidupku setiap gerak denyut nadiku
Mungkin hanya DIA indahnya sangat berbeda
Ku haus merindukannya

Kuingin KAU tahu isi hatiku
KAU lah yang terakhir dalam hidupku
Tak ada yang lain hanya KAMU
Tak pernah ada, tak kan pernah ada

Kuingin KAU slalu di pikirianku
KAU yang slalu larut dalam darahku
Tak ada yang lain hanya KAMU
Tak pernah ada, tak kan pernah ada

Nah, setelah membaca berkali-kali, saya menemukan kekisruhan rumah tangga di dalamnya. Iyap! Anda benar! Kata DIA yang bertabrakan dengan KAU/KAMU. Padahal keduanya jelas ditujukan pada orang yang sama. Gregetan kan?

Kenapa saya gregetan?

Dulu, waktu masih sering posting2 cerpen di http://www.kemudian.com , ada user (entah siapa, lupa) yang komen: penulisan kata KAU dan KAMU mesti konsisten! Kalau dari awal pake KAU ya jangan kemudian muncul KAMU, sebab bisa jadi itu merujuk pada tokoh yang berbeda. Dan setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga. Contohnya dalam cerpen Djenar yang berjudul “Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek”, kata IA dengan DIA dibuat untuk dua orang yang berbeda.

Ekspektasi saya pada Geisha jadi melemah. Padahal, dulu saya sempat tergila-gila pada sebait lirik lagunya yang sederhana tanpa puitisisasi—tapi mengena—di lagu berjudul Jika Cinta Dia.

Teramat sering kau buat patah hatiku
Kau datang padanya tak pernah kutahu
Kau tinggalkan aku di saat ku butuhkanmu
Cinta tak begini selama kutahu
Tetapi ku lemah karena cintaku padamu

Apakah inkonsistensi sudut pandang ini memang disengaja, atau lupa, atau…?

Yeah, mungkin lirik lagu cuma bagian kecil yang tidak begitu penting dalam sebuah musik dan lagu, terutama di Indonesia. Mungkin, yang lebih penting adalah penyanyinya cantik dan seksi, penampilannya keren, musiknya dimotori musisi beken. Ya gitu deh. Bodo amat liriknya mau jomplang atau berantakan.

Jadi, lirik yang bagus menurut pendapatnya Dadun itu seperti apa?

Saya bakalan tergila-gila sama lagu yang kata-katanya sederhana (lebih bagus kalau rumit) dan bisa membuat saya berpikir, kemudian memberikan sensasi orgasme atas pemikiran itu. Dan tentu saja ada kesesuaian antara tema, konsep, judul dan isi lagunya sendiri. Yang brilian, yang bisa membukakan pikiran saya hanya lewat beberapa bait bahkan baris tulisan. Bukan yang dipuitis-puitiskan tapi maksa, minim esensi, asal comot dan asal masuk notasi, pake ungkapan-ungkapan yang terlalu familier dan klise, pleonasme, redudan, dan diksi yang berantakan. Kecuali kalau memang konsep lagunya emang sesuai dan sengaja dibikin berantakan atau buat lucu-lucuan.

Contoh potongan lirik yang “mengganggu” kuping saya:

Mata ini indah melihatmu
Rasa ini rasakan cintamu
Jiwa ini getarkan jiwamu
Jantung ini detakkan jantungmu…
Dan biarkan aku padamu menyimpan sejuta harapan aku padamu….

*sekalian aja: hidung ini mencium baumu, telinga ini mendengar suaramu, anu ini menganu anumu. Hey, mari mengabsen fungsi indera, judulnya. Yang paling enggak banget tuh RASA INI RASAKAN CINTAMU.

*terus, kata “aku padamu” juga kayaknya masih kurang ganas kalo cuma diulang dua kali ya kang charly? (hoho… dua kali aja udah aneh deh). Hm, berasa minim diksi dan esensi.
Intinya, kurang matang aja lirik ini.

Pengulangan-pengulangan itu tidak buruk hasilnya pada lagunya Mikha Tambayong yang judulnya Cinta Pertama. Bukan lagu bikinannya Charly, tentu saja.

Ku tak tahu mengapa aku malu
di setiap aku tahu dia di dekatku
. . .
Ada rasa yang tak biasa
yang mulai kurasa
yang entah mengapa

Meskipun “begitu-begitu saja” dan cenderung polos, toh rasanya cocoklah dengan karakter dan nuansa seorang Mikha yang masih muda remaja belia. Segmentasinya pas. Katakatanya juga nggak lebay.

Kembali pada lirik lagu-lagunya ST12 (ataupun lagu bikinannya Charly) yang lain yang agak mengganggu:

Bila aku lihat bulan sungguh begitu indah terbentang di langit
Jika daku lihat bintang memang begitu indah bertabur di langit

ku merasa tlah kehilangan cintamu yang tlah lama hilang

Dan masih banyak lirik yang lainnya, yang mestinya masih perlu direvisi.

Lagunya Doddy Kangen Band juga puitisnya agak lebay tapi minim esensi. Dan klise.

Ku bagai biola yang tak berdawai
Bila tidak engkau lengkapi
Aku mohon agar engkau tinggal di sini

Hamparan pasir putih menunggu
Karang di lautan menangis
Bila aku tidak bisa melumpuhkanmu

*melumpuhkanmu? Ckckck. Mana ada cewek yang mau dilumpuhkan?

Coba bandingkan dengan lirik lagunya Sherina.

Kau buat aku bertanya
Kau buat aku mencari
Tentang rasa ini aku tak mengerti
Akankah sama jadinya bila bukan kamu
Lalu senyummu menyadarkanku
Kaulah cinta pertama dan terakhirku

Sebelumnya, tak mudah bagiku tertawa sendiri
Di kehidupan yang kelam ini
Sebelumnya, rasanya tak perlu membagi kisahku
Tak ada yang mengerti

Meskipun usianya masih muda belia, keseriusan Sherina dalam menulis lirik lagu cukup dapat diandalkan. Gaya bahasanya pun elegan.

Habis cerita jika harus membandingkan Charly dan Doddy dengan Dewi Lestari. Coba baca lirik lagu yang menjadi komplimen cerita dalam Rectoverso. Jelas sekali perbedaannya.

Oke, saya memang bukan pengamat musik dan bengekteteknya. Saya juga tidak banyak mengantongi lirik lagu-lagu dalam ingatan saya. Ini hanya sampel saja. Bisa jadi masih banyak lirik-lirik lainnya yang bisa dibilang lebih berantakan atau barangkali justru membantah pendapat saya tentang beberapa pihak yang saya sebutkan. Dan yang saya sebut juga nggak semuanya jelek kok, ada yang bagus2nya.

Yah, sayang aja kan; lagunya udah enak, suara penyanyinya udah bagus, penampilan udah keren, musiknya udah oke, tapi kalo liriknya kayak gitu bisa jadi nilai minus. Dan kalau kayak gitu terus, bisa-bisa tambah banyak orang yang anti lagu Indonesia seperti teman saya itu. Nah, buat para penulis lagu, tunjukkanlah ke(lebih)seriusanmu.**

P.S. saya sendiri nggak bisa nulis lirik. Buat saya, itu sesulit menulis puisi. Btw, perlu nggak sih ada editor buat lirik lagu kayak editor buat bikin buku? Atau emang lagu-lagu yang udah beredar itu liriknya udah hasil editing pihak publisher musiknya? Hmmm…

Bandung, 07/12/2009 15:19:28
Sambil dengerin lagunya Geisha, Tak Kan Pernah Ada, yang mengilhami saya menulis catatan ini

7 thoughts on “Kau/Dia? : Inkonsistensi/Sengaja?

  1. gyahaha

    bener, untung lah lagu yang diplaylistku muncul disini sebagai pihak yang dibenarkan oleh dadun..

    untuk point of view (apa itu?) lagu emang jarang ada yang konsisten. waktu dengerin lagunya Vierra yang ‘Rasa Ini’ musiknya sih oke, yang nyanyi juga oke… pas ngikutin liriknya..loh.. kok berubah2…
    ilfil deh..

  2. @vachar: iya. emang katanya kalo di lirik lagu itu sah sah aja lompat2an pov.
    yah kalo lompat2annya pas mah gpp, kayak lagunya ADA BAND fet GITA GUTAWA yg ayah2 itu.
    yg agak nggereget tuh ya yang lompat2nya terkesan asal gitu. ^^

  3. @penulis: hmm, menurut saya kalo lirik lagu dibandingkan dengan novel agak kurang pas mas, karena lagu lebih dekat ke puisi / pantun, bukan prosa..
    untuk lagunya geisha yg takkan ada, saya kutip kata2nya lagi yah,

    Mungkin hanya DIA harta yang paling terindah
    Di perjalan hidupku setiap gerak denyut nadiku
    Mungkin hanya DIA indahnya sangat berbeda
    Ku haus merindukannya

    Kuingin KAU tahu isi hatiku
    KAU lah yang terakhir dalam hidupku
    Tak ada yang lain hanya KAMU
    Tak pernah ada, tak kan pernah ada

    saya pikir kata ‘KAU’ yg di reff sama DIA berkorelasi di sini.. Ketika penyanyi-nya berkata DIA, memang ditujukan pada orang ke-3, dan ketika si penyanyi mengatakan KAU, itupun ditujukan pada orang ke-3 (karena seolah dia sedang bernyanyi sendiri atau gampangannya seolah-olah monolog), dia tidak sedang berbicara langsung dengan si ‘KAU’, tapi hanya monolog, dan perlu diingat juga bahwa ini bahasa lagu, bukan bahasa novel.

    Mungkin itu pendapat saya. Untuk lagu yg lain no comment 🙂 Thanks..

  4. Ping-balik: Cinta Pertama dan Terakhir-SHERINA « scriptwritingRAHMA's Blog

  5. Ping-balik: Takkan Pernah Ada-GEISHA « scriptwritingRAHMA's Blog

Tinggalkan komentar