Biasanya, saya kerap menjadi seorang peragu ketika hendak memilih salah satu dari dua hal atau lebih. Untuk beberapa hal, memilih lebih daripada satu bukanlah tindakan keliru. Namun untuk hal-hal tertentu, ‘memilih’ adalah tentang menunjuk yang itu dan mengeliminasi yang ini.
Kalian tentu tahu apa yang sedang saya bicarakan sekarang. Seapatis-apatisnya seseorang–ya, saya–saya adalah bagian dari Orang Indonesia, yang punya hak suara yang sama.
Selama ini saya lebih memilih untuk menjadi penonton pasif yang menyuarakan apa pun dalam bentuk kesunyian (sudah pasif, nggak mau ngomong, lagi). Bukan hanya menyadari bahwa saya tidak berkapasitas dalam hal ini, saya juga tidak pernah tertarik terhadap segala hal yang berbau politik. Sampai pada sebulan belakangan ini.
Setiap kali membuka laman Facebook, Twitter, sampai Path, saya kerap menemukan postingan-postingan berupa dukungan terhadap Capres 1 dan 2 dengan segala bentuk dan cara mereka. Awalnya, saya pikir, semua itu sama saja dengan kampanye-kampanye yang sudah-sudah. Tapi ternyata jelas berbeda. Pada pemilu tahun 2014 ini hanya menyisihkan dua calon. Dan ternyata, memilih satu dari dua pilihan itu jauh lebih seru dan menegangkan daripada memilih satu dari banyak pilihan.
Yang menggelitik saya untuk membuat postingan ini adalah dukungan-dukungan dari para simpatisan masing-masing Capres tersebut. Semakin menarik lagi, dukungan-dukungan itu tidak hanya disuarakan oleh orang-orang yang tidak saya kenal, melainkan juga oleh orang-orang yang cukup saya kenal. Teman saya, bahkan sahabat saya sendiri di antaranya.
Saya sangat tertarik untuk mencari tahu kenapa teman saya yang ini mendukung Capres yang itu, dan kenapa teman saya yang itu mendukung Capres yang ini. Saya akui, saya sempat memendam praduga terhadap mereka. Mungkin mereka dibayar. Mungkin mereka melakukan itu demi sebuah kepentingan yang sifatnya personal. Dan sebagainya.
Sampai kemudian, saya menelusuri tautan demi tautan yang diposting dari pendukung kedua kubu Capres itu, menonton berita, mencari informasi dari sumber-sumber lainnya, membandingkan, menganalisa, menonton debat Capres, brainstorming dengan Bapak, dan sebagainya. Praduga itu memang tidak bisa hilang sepenuhnya begitu saja. Namun, ada kabar gembira yang lebih signifikan dari kabar tentang kulit manggis yang kini sudah ada ekstraknya. Adalah semangat untuk menyongsong Indonesia yang lebih baik dengan memilih pemimpin terbaik. Dan saya sangat yakin, semangat itulah yang mendasari dan mendorong teman-teman saya untuk menyuarakan dukungan-dukungannya. Kalaupun ada hal-hal yang terkesan negatif di dalamnya, yah… itulah konseksuensi dari segala hal. Selalu ada sisi baik dan sisi buruk. Dan di dalam sisi buruk pun, ternyata masih ada hal-hal lucu yang masih bisa saya anggap sebagai hiburan seru.
Pada Pemilu beberapa bulan lalu, saya sempat bingung ketika berada di bilik TPS. Ketiga surat suara itu dipenuhi wajah dan nama yang sangat asing, juga logo-logo partai yang tak satu pun mampu meyakinkan saya untuk memilih. Selama beberapa detik, saya sempat tertegun dan berpikir, “Ngapain bingung-bingung, sih? Pilih yang mana aja, cap cip cup, atau nggak usah milih sama sekali. Emang, suara kamu bakal ngaruh?”
Namun saya rasa, pada Pemilu Pilpres tanggal 9 Juli besok, saya sudah tidak akan ragu lagi untuk memilih. Ngaruh atau pun nggak ngaruh, bagi saya, ‘memilih’ adalah satu langkah yang lebih baik dari sekadar menjadi penonton pasif yang menyembunyikan suaranya dalam sunyi. Dan siapa pun Presiden yang terpilih nanti, semoga harapan-harapan terbaik kita bisa mulai teralisasi.
Dan semoga setelah 9 Juli terlewati, semua yang sempat terpecah karena masalah satu jari dan dua jari bisa bersatu kembali, membentuk jari-jari yang menggerakkan dan mengokohkan roda negeri ini untuk melaju ke arah yang lebih baik lagi.