[guytalk] B I S A


Minimal sekali dalam sebulan hasrat ini datang. Seperti datang bulan yang datang pada perempuan. Tak tertahan dan butuh penanggulangan. Mereka perlu pembalut, saya perlu pengaman.

Ternyata persediaan kondom di dompet sudah habis. Sialan. Pilih sirkelkey atau apotik yang buka duapuluh empat jam? Yang jaga di sirkelkey seorang pemuda awal duapuluhan, yang jaga di apotik seorang lelaki akhir tigapuluhan. Oke, ke sirkelkey saja.

Ternyata anak umur duapuluhan lebih kampungan daripada lelaki akhir tigapuluhan. Dia bilang, buanglah sperma pada tempatnya. Cih! Setengah kalap saya jawab, nanti gue balik ke sini dan lo buka mulut lo lebar-lebar. Setelah membayar tanpa meminta uang kembalian, saya baru sadar kalau kondom yang saya beli rasa jeruk, bukan stroberi. Ah, siapa peduli.

Yang penting jadi. Yang penting hepi.

Hasrat ini sudah memuncak di ubun-ubun. Ini akhir bulan, jadi sudah benar-benar di luar level normal jika di awal-awal bulan selalu saya abaikan. Membikin pusing kalau tidak lekas dilampiaskan. Membikin mutung jika tidak cepat-cepat dikeluarkan.

Sudah berjam-jam saya hanya memandangi foto dalam daftar harga perempuanmalam di rumahrianggembira, tak satu pun dari mereka masuk kriteria yang saya inginkan. Hati-hati kalau berpikir. Setidak tahan apa pun, selektifitas saya masih setara ketabahan supir angkot menunggu sebuah pantat untuk menggenapkan formasi muatan angkotnya.

Hei, yang penting jadi. Yang penting hepi. Yang penting bukan banci. Yang penting tidak onani lagi—katanya, kalau keseringan coli bisa bikin impotensi. Yang penting tidak memperkosa anak sapi.

Oke, setan. Saya turuti. Siapa pun yang tertunjuk nanti, kita jadi menggelar acara one night stand dengan diiringi lagu dangdut Cinta Satu Malam. Asalkan dia bukan banci, alih-alih anak sapi.

Cap cip cup kembang kuncup, pilih mana yang mau di—….

8< ———————————————————————————–

Kami sama-sama terkulai lemas usai mengerang-klimaks bersamaan—untuk yang ketiga kalinya. Tiga ronde dengan masing-masing durasi yang cukup didokumentasikan dalam satu keping DVD membuat kami serasa akan mati di tempat. Mati dengan nikmat. Oh, barangkali kami sedang sekarat.

Tapi keesokan harinya saya masih bisa terbangun. Masih bisa tersenyum. Masih bisa berlari. Masih bisa beronani—oh, maklum sudah tak ada uang lagi, dan sepertinya impotensi hanya bakal memburu kaum berduit, berdasi, bermersi dan suka korupsi.

Ternyata saya masih bisa didatangi hasrat ini lagi. Hasrat yang mengalahkan hasrat-hasrat manusiawi lainnya. Oh, mungkin tubuh saya bukan dialiri darah, tapi birahi.

Ternyata saya masih bisa membeli kondom di sirkelkey dan/atau apotik. Masih bisa berkeliaran di rumahrianggembira, mencari dan meniduri perempuanmalam. Saya masih bisa cek-in di hotel melati. Masih bisa main minimal tiga ronde sampai nyaris mati.

Ternyata saya masih bisa begini, dan terus begini.

Sementara perempuanmalam-perempuanmalam yang pernah saya tiduri satu per satu hilang ditelan bumi. Saya tidak tahu dan tidak mau tahu ke mana mereka pergi. Hanya setiap saya datang kembali, wajah-wajah mereka sudah tidak terpajang lagi dalam daftar harga di rumahrianggembira.

Mereka menghilang tepat sesaat setelah saya membuka mata keesokan hari. Kamu kan tahu, sedetik selepas kami bercinta, saya langsung tertidur pulas. Jadi saya tidak tahu lagi apa yang terjadi kemudian. Seisi dompet saya sering ludes disikat perempuanmalam-perempuanmalam itu, hanya bersisa KTP dan kalau beruntung stok kondom saya masih aman. Paling sial kalau saya harus pulang hanya dengan sehelai celana dalam yang sudah berlubang.

Jadi, saya berencana untuk mengikuti perempuanmalam terakhir yang saya tiduri setelah saya terbangun.

Ini baru rencana.

Dan sepertinya hanya rencana.

* * * *

Selang satu tahun, wajah-wajah dalam daftar harga di rumahrianggembira hanya tinggal bersisa beberapa. Pihak pengelola mungkin sudah lebih dari sekadar curiga terhadap saya. Sialnya, gelagat itu baru saya tangkap saat saya diperangkap sekawanan orang di dalam. Mungkin para sekuriti. Atau bodigar. Atau mungkin gigolo algojo yang siap memenggal kepala saya.

Kontan mereka membuka celana saya. Tentu saja saya hanya membuka celana secara sukarela di hadapan perempuan. Sekarang tangan dan kaki saya diikat kuat-kuat. Bahkan mulut saya dilakban erat-erat.

“Lihat, penis pemuda ini kalau diperhatikan mirip seekor ular!” ucap seorang lelaki kemayu berkacamata penuh ketelitian, membuat saya risih. Mereka menyapanya dengan nama Dokter Boke. Saya nyaris tertawa, mana ada dokter boke—nggak punya duit?

“Dan setiap ular memiliki bisa,” lanjutnya dengan raut wajah serius.

“Saya rasa, dia memakai kondom di setiap proses transaksinya,” ujar lelaki lainnya.

“Kondom rasa buah-buahan? Mungkin sekali-sekali dia perlu coba kondom rasa cabe. Atau mungkin rasa garam. Ular kan anti-garam.”

“Ah, kita kebiri saja dia! Bisa-bisa semua perempuan di dunia musnah gara-gara bisanya!”

Mendengar itu, radar gawat darurat saya menyalakan lampu merah dengan sirine meraung-raung. Defensifitas saya tergugah saat mereka mulai bertindak terhadap alat kelamin saya. Lebih baik saya mati daripada menjadi lelaki tanpa penis. Saya terus meronta dan berusaha melawan dengan tangan dan kaki diikat.

Bala bantuan pun akhirnya datang seperti Ksatria Baja Hitam. Sesosok ular muncul dari selangkangan saya. Dia mematuk dan menyemburkan bisa pada mereka.***

————————————-

Bandung, 07/04/2010 20:59:47

“Akhirnya, ide ini terejakulasi juga setelah sekian lama mengendap di kepala. Ide semrawutan setelah menonton TEETH. Aaah… lega.”

Btw, saya hanya mengundang para cowok dalam cerpen bergenre guytalk ini (aih gayanya dadun). Tapi kalo ada cewek yang mau baca dan komen ya silakan saja ;p

5 thoughts on “[guytalk] B I S A

  1. dadunnn sepanjang baca ini, aku sambil ngebayanginn tau ! ckck jadi geli geli gimana gituhh parah ahahha! * ga pernah nonton film blue tapi baca tulisan kamu jadi ada film blue di otak saya haha :D*

Tinggalkan Balasan ke djawie Batalkan balasan